Monday, February 13, 2006

Just to remember

Ini cerita tentang Mas Eko...Bukan untuk mengungkit kesedihan, tapi hanya untuk mengenang orang terbaik yang pernah mendampingi gue....

Rest in peace papa...

Ditulis di Kompas, 23 Januari 2003 sama temen baiknya mas eko, pak us...

Malpraktik atau Salah Diagnosa, Pasien Juga yang Dirugikan

ELANG, bayi berumur 1,5 tahun itu, harus kehilangan ayahnya. Umurnya masih terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi. Berbeda dengan Nurul Qomariyah (26), ibunya, yang pasti sangat kehilangan suaminya. Keluarga yang baru pindah 6 bulanan ke rumah mungilnya di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, itu harus melepas orang terkasihnya, Eko Warijadi (35), yang meninggal dalam ketidakpastian diagnosa dokter yang menanganinya.

"Suami saya meninggal karena pelayanan yang diberikan tim dokter terhadap suami saya kurang cermat serta kurang tepat," kata Nurul, yang sedang hamil dua bulan itu. Dia hanyalah satu di antara ratusan pengguna jasa dokter yang merasa tidak puas atas pelayanan kesehatan yang diterima.

Nurul menuturkan, saat di bawa ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Timur, tanggal 7 Januari 2003, Eko hanya merasa demam dan pusing. Awalnya Eko didianogsa menderita tifus. Hari kedua, karena Eko menderita sesak napas, dia dinyatakan menderita asma. Pada hari ketiga timbul gejala lain, yaitu mata kuning dan kaki membengkak.

Hari keempat dan kelima, Eko bahkan dinyatakan mengalami penyempitan paru-paru, serta memiliki cairan di jantungnya. Hari keenam Eko sama sekali tidak mendapat pemeriksaan dokter. Kemudian hari ketujuh, karena ginjalnya sudah tidak berfungsi lagi, ketua tim dokter menganjurkan agar Eko mendapat terapi cuci darah.

Sejak awal perawatan dokter, Nurul merasa bahwa tim dokter yang menangani suaminya kurang intensif dalam memeriksa atau memberikan perawatan. "Yang membuat saya makin bingung adalah terapi-terapi yang diberikan dokter tidak membuat suami saya menjadi lebih baik sama sekali," ungkap Nurul prihatin.

Hari kedelapan, karena merasa ada yang tidak beres dengan pemeriksaan suaminya, Nurul memindahkan Eko ke sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat. Ketika masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS tersebut, kondisi Eko sudah terlalu parah. Dokter IGD menyatakan, jika dilakukan cuci darah, kemungkinan Eko akan mengalami pendarahan.

Di rumah sakit itulah akhirnya diketahui suami Nurul terserang malaria. Obat yang diberikan tidak mampu memulihkan kondisi Eko yang sudah terlalu parah. Semua organ wartawan senior itu tidak berfungsi lagi. Jantungnya pun semakin melemah sampai akhirnya berhenti dan Eko mengembuskan napas terakhir pada pukul 05.30, Rabu (15/1).

"Andai semua ini hanya mimpi," kata Nurul dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka suaminya akan pergi dengan cara seperti ini.

Selebihnya adalah penyesalan terhadap tindakan dokter yang salah mendiagnosa penyakit suaminya. "Suami saya hanya diperiksa seadanya. Padahal saya membayar tidak sedikit untuk semua terapi terhadap suami saya," ujar Nurul.

Nurul menyatakan tidak tahu apakah kasus yang dialaminya merupakan malpratik, salah diagnosa atau bukan.

"Namun, yang merasa dokter di Jakarta ini terlalu banyak berpraktik di banyak rumah sakit dengan pasien yang banyak juga," kata Nurul, yang juga wartawan portal berita detik.com itu.

Akibatnya, dokter-dokter semacam itu lalai memeriksa pasien benar-benar dengan cermat, sulit dilakukan. "Sepertinya mereka tidak pernah menyadari kalau akibat ketidakcermatan mereka, sekarang kedua anak saya harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Anak saya yang sedang saya kandung sekarang bahkan tidak akan pernah mengenal ayahnya," ungkapnya sedih.

Kisah-kisah seperti dialami Nurul itu sering kali beredar dari mulut ke mulut, melalui milis yang bisa menimpa siapa saja, anak-anak terkasih, suami tercinta, atau sahabat terdekat....

PERSOALAN apakah pasien-pasien seperti itu korban malpraktik atau salah diagnosa juga tak pernah terekam pasti atau terselesaikan secara tuntas. Kepala Kompartemen Hukum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Herkutanto mengakui, belum adanya badan pengawas khusus yang dapat memberikan sanksi jika seorang dokter melanggar keprofesionalan profesinya.

Lebih jauh Herkutanto menerangkan, menjadi dokter yang profesional berarti menyangkut dua hal, yaitu memiliki watak baik dan kompeten. Kedua hal ini harus dimiliki seorang dokter agar dapat dikatakan profesional. "Saat ini, karena profesi dokter cenderung ke arah proletar dan bukan profesional, maka yang diutamakan hanya kompetensi tanpa watak baik. Sehingga sisi kemanusiaan semakin terkikis. Kebanyakan hanya mengejar keuntungan sehingga tidak ada lagi hubungan batin dengan pasien. Maka, tidak heran kalau pasien-pasien rumah sakit hanya diperiksa seadanya," ujar Herkutanto.

Berbeda dengan negara lain, misalnya Inggris, Amerika, atau Singapura, yang memiliki undang-undang praktik kedokteran serta medical council, Indonesia hanya memiliki Dinas Kesehatan dan ikatan profesi.

"Council tersebut memiliki fungsi penting yaitu meregistrasi dokter-dokter yang praktik, melakukan penyelidikan terhadap pengaduan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan medis, serta memberikan sanksi kepada dokter yang melanggar etika maupun disiplin profesi," katanya.

Menurut dia, saat ini Dinas Kesehatan memang memiliki fungsi pengawasan. Akan tetapi, sejauh ini belum dilaksanakan secara maksimal. Bisa dilihat, dari 5.000 dokter yang memiliki izin praktik dari dinas kesehatan, hanya enam sampai tujuh dokter yang izinnya dicabut. Itu juga karena pindah kota. Jadi, bukan karena dokter tersebut terbukti melakukan malpraktik atau lalai.

Presiden Terpilih Ikatan Dokter Indonesia FA Moeloek saat ditemui, Kamis (23/1), menyatakan, mengenai tuntutan malpraktik harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi malpraktik, dan mana yang bukan.

"Oleh sebab itu, kita harus kembali melihat etika kedokteran. Dimulai dengan kemurnian niat, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmu, integritas sosial, kesejawatan, dan ketuhanan," katanya.

Mengacu pada etika ini, menurut Moeloek, tidak mungkin seorang dokter bermaksud jahat terhadap pasien. Jika terjadi kasus-kasus tertentu, maka tidak bisa langsung dinyatakan sebagai malpraktik. "Batasan tegas seorang tenaga medis melakukan malpraktik adalah jika tindakan tenaga medis tersebut sudah melanggar standar prosedur," ujarnya.

Masalahnya, saat ini setiap rumah sakit memiliki standar of procedure (SOP) yang berbeda-beda, tergantung fasilitas yang dimilikinya.

"Jadi, tidak bisa disalahkan jika dokter tidak melakukan SOP yang sama di rumah sakit yang berbeda," kata Moeloek. Jika memang ternyata masyarakat menemukan kasus-kasus yang dianggapnya malpraktik, mereka dapat membawa masalah ini ke Majelis Kode Etik Kedokteran.

Dia menganjurkan setiap masyarakat juga harus mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai pengguna jasa kesehatan sehingga dapat menuntut jika terjadi ketidaksesuaian," tambahnya.

Marius Widjajarta, dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengatakan, sampai saat ini peraturan yang mengatur tentang kesehatan hanya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. UU tersebut banyak yang belum diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP). "Dari 29 PP yang harus dibuat, hingga kini baru ada 6 PP. Kemudian langsung ke Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Dirjen. Jadi, ada loncatan urutan peraturan," katanya.

"Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan agar kasus-kasus malpraktik dapat ditangani dengan baik adalah membuat peraturan atau standar khusus yang jelas, serta membentuk suatu badan yang dapat melaksanakan penegakan hukumnya" kata Marius.

Pada akhirnya, memang hanya pasien yang menjadi korban kelalaian dokter yang dirugikan. Banyaknya kasus malpraktik atau tindakan menyalahi prosedur dan kelalaian yang dilakukan tenaga medis kepada konsumen kesehatan (pasien) menandakan kurangnya perlindungan terhadap pasien.

"Pasien sering kali tidak mengetahui penyakit apa yang sebenarnya menimpanya dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan," kata pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Erna Ratnaningsih, Jumat.

Ketidaktahuan ini disebabkan dokter sering kali kurang memberikan informasi dengan jelas. Selain menggunakan istilah-istilah kedokteran yang sukar dipahami orang awam, dokter juga terkesan enggan menerangkan kepada pasien mengenai rekam medis yang seharusnya menjadi hak pasien.

Data LBH Jakarta menunjukkan, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien.

"Banyak keluarga pasien atau pasien itu sendiri yang mengadu dan minta didampingi oleh kami untuk menggugat dokter atau rumah sakit yang lalai atau disinyalir melakukan malpraktik," kata Erna.

Menurutnya, banyaknya kasus kelalaian dan malpraktik menandakan bahwa perlindungan konsumen kesehatan di Indonesia kurang baik. Padahal, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak-hak konsumen dan sanksi yang ditetapkan kepada badan usaha yang merugikan konsumen. Namun, sering kali dokter tidak dianggap sebagai badan usaha, sehingga tidak terkena aturan tersebut.

Selain itu, tindakan kelalaian dan malpraktik sering kali sulit dibuktikan, karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit dan tindakan medis yang dilakukan dokter terhadapnya.

Kalau sudah begitu, bagi pasien seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula....

No comments: